3/3/08

Pemanasan Global dan Efek Rumah Kaca (Greenhouse Effect)


Efek rumah kaca, pertama kali ditemukan oleh Joseph Fourier pada 1824, merupakan sebuah proses di mana atmosfer memanaskan sebuah planet kemudian berhubungan dengan pemanasan global.

Mars, Venus, dan benda langit beratmosfer lainnya (seperti satelit alami Saturnus, Titan) memiliki efek rumah kaca, tapi artikel ini hanya membahas pengaruh di Bumi.

Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah kaca ditingkatkan yang terjadi akibat aktivitas manusia (lihat juga pemanasan global). Yang belakang diterima oleh semua; yang pertama diterima kebanyakan oleh ilmuwan, meskipun ada beberapa perbedaan pendapat.

Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya.

Energi yang masuk ke bumi mengalami : 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer 25% diserap awan 45% diadsorpsi permukaan bumi 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi

Energi yang diadsoprsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar infra merah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda.

Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana (CH4) dan khloro fluoro karbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.

Dampak Rumah kaca tersebut sekarang menjadi rumah kaca raksasa. Permukaan bumi menjadi lantainya dan atmosfir udara menjadi langit-langitnya. Kita semua sudah terperangkap di dalamnya. Dan rumah kita itu sudah semakin panas. Efek kenaikan suhunya tidak sesederhana seperti ilustrasi udara panas dan butir keringat pada tulisan sebelumnya. Dampak yang lebih besar adalah perubahan iklim dan ekosistem dunia yang akan mengganggu kehidupan makhluk hidup, termasuk manusia. Pertanyaannya adalah apakah kita dapat hidup nyaman di dalamnya? Bahkan lebih ekstrim lagi, sampai kapan kita dapat bertahan hidup di dalamnya?

”Global warming means dark future”, demikianlah pendapat para peneliti yang dikutip dari majalah online People Weekly World (2007). Sebuah pernyataan yang patut menjadi kepedulian bersama. Seberapa seram kondisi rumah kita di masa depan tersebut dilengkapi dengan bukti-bukti empiris. Salah satunya adalah melelehnya lapisan es di Greenland dan benua antartika yang dapat menimbulkan banjir dan merusak garis pantai dan ekosistem, terutama pada delta-delta dan dataran rendah di Asia dan Afrika.

Itu berarti delta atau pulau-pulang kecil di Indonesia terancam tenggelam. Jumlah pulau-pulau sebanyak 17.504 pun harus siap-siap dihitung ulang, padahal baru 7.870 di antaranya yang sudah mempunyai nama. Panjang garis pantai Indonesia- yang mencapai 81.000 kilometer pun terancam berkurang, atau dengan kata lain, pulau-pulau seperti Jawa atau Sumatera akan berkurang luasnya karena garis pantai semakin naik menuju daratan. Kota-kota di pinggiran pantai pun terancam, terutama yang ketinggian di atas permukaan laut-nya rendah. Puluhan juta orang yang hidup dan berkehidupan di kota tersebut pun ikut terancam.

Rasanya kita sepakat bahwa masa depan yang menyeramkan tersebut mudah-mudahan tidak terjadi. Kesepakatan tersebut perlu ditindaklanjuti dengan upaya-upaya bersama dalam mengurang- kalau tidak bisa menghilangkan, faktor-faktor penyebab pemanasan global. Emisi gas buang dari kendaraan, polusi udara dari pabrik-pabrik, dan pembalakan hutan adalah beberapa contoh faktor penyebab terakumulasinya CO2- jenis gas yang merupakan penyebab utama pemanasan global. Kita patut sangat prihatin jika melihat kondisi kendaraan, limbah udara pabrik, dan kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia

Kekhawatiran tersebut perlu menjadi renungan bersama tanpa harus disertai saling menyalahkan. Sudah saatnya, masalah lingkungan menjadi prioritas utama dalam program pemerintah, atau minimal aspek lingkungan diintegrasikan ke dalam program pembangunan nasional di bidang lain. Rasanya masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Persyaratan dan pengujian emisi kendaraan harus dilakukan secara berkelanjutan, penegakkan hukum terhadap pengusaha yang menimbulkan pencemaran udara, serta penanganan kebakaran hutan dari aspek lingkungan, hukum, ekonomi, dan sosial-kemasyarakatan. Dari sisi masyarakat pun harus tumbuh budaya mencintai dan memelihara lingkungan hidup di lingkungannya masing-masing. Itu bisa dimulai dari sekarang- misalnya gerakan menanam pohon atau penanganan sampah keluarga. Memang sebuah usulan yang klise. Tetapi jangan sampai kita menjadi apriori atau bosan dengan segala persoalan yang masih terjadi di Indonesia. Marilah kita terus mengkampanyekan isu tentang kualitas lingkungan. Karena bumi ini adalah rumah milik kita bersama.

Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.

Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu dikarenakan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim,[2]pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan. serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat

Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekwensi-konsekwensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.

Efek Rumah Kaca atau Greenhouse Effect merupakan istilah yang pada awalnya berasal dari pengalaman para petani di daerah beriklim sedang yang menanam sayur-mayur dan biji-bijian di dalam rumah kaca. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa pada siang hari waktu cuaca cerah, meskipun tanpa alat pemanas suhu di dalam ruangan rumah kaca lebih tinggi dari pada suhu di luarnya.

Hal tersebut terjadi karena sinar matahari yang menembus kaca dipantulkan kembali oleh benda-benda di dalam ruangan rumah kaca sebagai gelombang panas yang berupa sinar inframerah. Oleh karena itu, udara di dalam rumah kaca suhunya naik dan panas yang dihasilkan terperangkap di dalam ruangan rumah kaca dan tidak tercampur dengan udara di luar rumah kaca. Akibatnya, suhu di dalam ruangan rumah kaca lebih tinggi dari pada suhu di luarnya dan hal tersebutlah yang dikatakan sebagai efek rumah kaca. Efek rumah kaca dapat pula terjadi di dalam mobil yang diparkir di tempat yang panas dengan jendela tertutup.

Dari pancaran sinar matahari yang sampai ke bumi (setelah melalui penyerapan berbagai sinar di atmosfer) sebagian radiasi tersebut dipantulkan dan sebagian diserap oleh bumi. Radiasi yang diserap dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang bergelombang panjang. Sinar tersebut di atmosfer akan diserap oleh gas-gas rumah kaca seperti uap air (H2O) dan karbon dioksida (CO2) sehingga tidak terlepas ke luar angkasa dan menyebabkan panas terperangkap di troposfer dan akhirnya menyebabkan peningkatan suhu di bumi maupun di lapisan troposfer (lapisan atmosfer terendah). Hal tersebut menyebabkan terjadinya efek rumah kaca di bumi.

Dengan adanya efek rumah kaca, suhu rata-rata di permukaan bumi naik 33°C lebih tinggi (menjadi 15°C) dari seandainya tidak ada efek rumah kaca (- 18°C), suhu yang terlalu dingin bagi kehidupan manusia. Kenaikan intensitas efek rumah kaca akibat peningkatan kadar gas rumah kaca yang utamanya disebabkan oleh pencemaran, dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global atau global warming, yaitu peningkatan suhu bumi yang menyebabkan perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut.