6/9/08

Pemanasan Global dan Pertanian di Indonesia

Kekhawatiran orang akan menipisnya persediaan bahan pangan di dunia
ini bagi pemenuhan kebutuhan umat manusia telah bergaung sejak
beberapa abad lalu. Malthus, dalam karyanya yang menimbulkan
perdebatan sengit, Essay on the Principle of Population, mengungkap
kekhawatiran tersebut. Malthus mensinyalir bahwa, kelahiran yang tidak
terkontrol, menyebabkan penduduk bertambah menurut deret ukur,
sementara persediaan makanan tak akan mampu tumbuh lebih besar dari
deret hitung.

Kekhawatiran Malthus, dan juga banyak orang lainnya, jelas beralasan.
Indikasi yang ditunjuknya telah hampir menjadi kenyataan. Menurut Bank
Dunia, populasi global diperkirakan akan meningkat menjadi lebih 8,3
milyar pada tahun 2025, dari hanya sekitar 5,3 milyar saat ini. Dengan
begitu, berpegang pada asumsi bahwa seluruh manusia yang ada harus
tetap makan, dengan standar gizi yang meningkat, maka produksi makanan
harus dinaikkan beberapa ratus persen, dari tingkat produksi saat ini.
Artinya, beban itu utamanya harus diberikan pada sektor pertanian,
sebagai sektor utama penghasil bahan pangan.

Ironisnya, di tengah tuntutan untuk meningkatkan kuantitas dan
kualitas produksi makanan, pertanian sebagai basis persediaan makanan
harus bersiap menerima kenyataan ketidakpastian iklim dan jatuhnya
waktu cuaca yang semakin tak menentu, di samping harus 'melawan'
ledakan penduduk, Padahal pertanian, seperti dikatakan Tsigas dan
kawan-kawan (1995), adalah sektor produksi yang kapasitas produksinya
sangat tergantung pada 'kebaikan dan kecocokan' temperatur, iklim
cuaca dan kelembaban tanah.

Kenyataan di atas dikhawatirkan akan makin memburuk dengan makin
terwujudnya perdagangan bebas. Perdagangan bebas sering dilihat
sebagai hal yang menciptakan ruang berkembang bagi proses akumulasi
gas-gas rumah kaca. Ini terjadi lewat dorongan terhadap peningkatan
produksi dan konsumsi yang pesat, yang tidak disertai dengan teknologi
produksi yang ramah lingkungan (environmental friendly technology).

Tulisan singkat ini, dengan menggunakan model Computable General
Equilibrium, bertujuan mencari relasi antara perdagangan bebas,
peningkatan suhu global warming dan dampaknya pada sektor pertanian di
Indonesia. Semoga dapat menjadi bahan introspeksi bagi kebijakan
sektor pertanian kita, setelah melewati bulan pangan, Oktober lalu.


Pemanasan global
Pemanasan global yang selanjutnya berakibat pada ketidak-pastian
perubahan iklim, seperti banyak disinyalir oleh para pakar iklim,
disebabkan oleh meningkatnya kadar CO2, CFCs, gas Metana dan gas-gas
lainnya -- tergabung dalam gas 'rumah kaca' -- di atmosfir. Seperti
diketahui, emisi gas-gas rumah kaca biasanya dihasilkan oleh proses
produksi dari industri-industri, terutama yang menjadikan bahan kimia
sebagai salah satu bahan dasarnya. Untuk menghindari keadaan tersebut,
maka tak ada jalan lain kecuali mengurangi kadar/akumulasi gas-gas
rumah kaca dalam atmosfir, lewat pembatasan/pengendalian terhadap pola
produksi dan konsumsi yang polutif.

Namun, tampaknya, masih dibutuhkan waktu yang panjang untuk sampai
pada keadaan tersebut. Kondisi mutakhir menunjukkan bahwa
kecenderungan emisi gas-gas rumah kaca ternyata makin meningkat dari
waktu ke waktu.