3/3/08

Global Warming Problem

global warming

China is the rousing giant of global warming. It stands as a developing nation outside the guidelines of the Kyoto treaty, yet with more than one billion people and a huge energy-gobbling economy, it is one of the most influential countries in climate change. It is first in coal consumption and the number two nation in carbon dioxide emissions behind the United States. Many of its cities are thick with air pollution and large regions are beset with drought, failing crops and sandstorms linked to global warming. China's leaders remain fixed on rapid development and increasing energy use, yet the first steps are being taken toward emissions control and alternative energy. These few photos represent the first attempt by World View of Global Warming to bring China into focus among all the other effects documented. More information and photos will be added soon.

Global Warming

Global warming is the single biggest threat to wildlife today.

Scientists have told us that we must reduce global warming pollution by 80% by 2050 to avoid the worst impacts of global warming. They have set the goal, now we have to set the pace. We can get there by reducing global warming pollution by 2% every year for the next 40 years.

National Wildlife Federation works to reach that goal by demanding climate change legislation that includes a cap-and-trade system and dedicated funding to address the impacts of global warming on America's natural resources.

Everybody needs to be part of the 2% solution. Pledge to reduce your energy use by 2% per year and be part of the solution today!

Global Warming and Climate Change

The map of early warning signs clearly illustrates the global nature of climate changes. In its 2001 assessment, the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) concluded that, �an increasing body of observations gives a collective picture of a warming world and other changes in the climate system."

While North America and Europe—where the science is strongest—exhibit the highest density of indicators, scientists have made a great effort in recent years to document the early impacts of global warming on other continents. Our map update reflects this emerging knowledge from all parts of the world.

Although factors other than climate may have intensified the severity of some of the events on the map, scientists predict such problems will increase if emissions of heat-trapping gases are not brought under control.

You can purchase a copy of the map as a 3 feet by 2 feet display poster. Please note that the hard-copy versions of the map do not contain the recently added map points (points 90 - 156).

Pemanasan Global | Perubahan Iklim

Global warming atau pemanasan global sangat ter kait dengan perubahan iklim. Pada saat ini, bahan bakar fosil (fossil fuel) masih menjadi tumpuan utama sumber energi, yaitu minyak bumi, batubara dan gas alam. Dalam pemanfaatannya selama ini di Indonesia telah terjadi eksploitasi yang sangat masif yang telah mengakibatkan Indonesia dalam waktu dekat akan mengalami krisis energi akibat habisnya cadangan sumber-sumber energi tak terbarukan ini. Diperkirakan dalam 15 tahun Indonesia akan menjadi net-importer minyak bumi jika pada saat tersebut tidak ditemukan cadangan minyak baru. Denpasar, Bali- Konferensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Nusa Dua, Denpasar, Bali, berakhir dramatis di pertengahan Desember 2007 lalu. Setelah berunding selama dua pekan dan molor sehari, para delegasi dari 190 negara akhirnya menyetujui konsensus menekan laju perubahan iklim. Kesepakatan bersama ini diambil setelah secara mengejutkan delegasi Amerika Serikat (AS) menerima konsensus bersama yang terumus dalam Peta Jalan Bali (Bali Roadmap). Bali- Provinsi Bali yang kerap menjadi tuan rumah bagi konferensi internasional, tidak hanya membawa dampak yang baik bagi citra pariwisata Bali namun juga berdampak negatif bagi supply-demand sumber daya alam Bali. Jika menggunakan asumsi yang paling minim, yakni peserta berjumlah 3.000 orang saja maka air yang dibutuhkan 30 juta liter selama 10 hari konferensi. Pertanyaannya, jatah air petani atau masyarakat kecil mana yang diambil untuk memasok kebutuhan peserta konferensi?


Dampak Perubahan Iklim Pada Kehidupan

Buku kecil ini dimaksudkan untuk memberikan informasi yang gamblang mengenai Perubahan
Iklim dan Pemanasan Global; juga dimaksudkan untuk menyampaikan masalah tersebut kepada anda baik di tingkat lokal, regional maupun nasional. Diharapkan bahwa buku kecil ini membantu anda untuk memahami dengan lebih baik kompklexitas permasalahan tersebut dan perlunya tindakan nyata untuk menyelamatkan planet kita ini. Kami menyertakan juga sejumlah sumber dari Kitab Suci dan Teologi untuk digunakan dalam kelompok kerja dan komunitas serta sejumlah sumber lain demi pendidikan dan pembinaan lanjutan anda sendiri. Buku kecil ini bukanlah suatu jawaban tuntas atas seluruh permasalahan Perubahan Iklim dan Pemanasan Global atau global warming, tetapi baiklah menggunakannya untuk mengetahui ke mana anda mencari informasi agar selangkah demi selangkah maju untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Buku kecil ini akan berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
Apa itu pemanasan global dan perubahan iklim?
Apa saja penyebab dari pemanasan global:
• Apa akibatnya bagi keadilan sosial?
• Apa dampaknya?
Mengapa kaum religius harus memperhatikannya dan terlibat?
Apa yang dikatakan iman kita berkaitan dengan lingkungan hidup?
Apa yang dapat kita kerjakan sekarang?
Apa itu perubahan iklim dan pemanasan global?
Komposisi kimiawi dari atmosfer sedang mengalami perubahan sejalan dengan penambahan gas
rumah kaca – terutama karbon dioksida, metan dan asam nitrat. Kasiat menyaring panas dari gas
tersebut tidak berfungsi.
Energi dari matahari memacu cuaca dan iklim bumi serta memanasi permukaan bumi; sebaliknya
bumi mengembalikan energi tersebut ke angkasa. Gas rumah kaca pada atomsfer (uap air, karbon
dioksida dan gas lainnya) menyaring sejumlah energi yang dipancarkan, menahan panas seperti
rumah kaca. Tanpa efek rumah kaca natural ini maka suhu akan lebih rendah dari yang ada
sekarang dan kehidupan seperti yang ada sekarang tidak mungkin ada. Jadi gas rumah kaca
menyebabkan suhu udara di permukaan bumi menjadi lebih nyaman sekitar 60°F/15°C.
Tetapi permasalahan akan muncul ketika terjadi konsentrai gas rumah kaca pada atmosfer
bertambah. Sejak awal revolusi industri, konsentrasi karbon dioksida pada atmosfer bertambah
mendekati 30%, konsetrasi metan lebih dari dua kali, konsentrasi asam nitrat bertambah 15%.
Penambahan tersebut telah meningkatkan kemampuan menjaring panas pada atmosfer bumi.
Mengapa konsentrasi gas rumah kaca bertambah? Para ilmuwan umumnya percaya bahwa
pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan manusia lainnya merupakan penyebab utama dari
bertambahnya konsentrasi karbon dioksida dan gas rumah kaca.
• Perubahan Iklim merupakan tantangan yang paling serius yang dihadapi dunia di abad 21.
• Sejumlah bukti baru dan kuat yang muncul dalam setudi mutakhir memperlihatkan bahwa
masalah pemanasan yang terjadi 50 tahun terakhir disebabkan oleh tindakan manusia.
• Pemasan global di masa depan lebih besar dari yang diduga sebelumnya.
Sebagian besar setudi tentang perubahan iklim sepakat bahwa sekarang kita menghadapi
bertambahanya suhu global yang tidak dapat dicegah lagi dan bahwa perubahan iklim mungkin
3
sudah terjadi sekarang. Pada bulan Desember 1977 dan Desember 2000, Panel Antar Pemerintah
Mengenai Perubahan Iklim, badan yang terdiri dari 2000 ilmuwan, mengajukan sejumlah
pandangan mengenai realitas sekarang ini:
• Bencana-bencana alam yang lebih sering dan dahsyat seperti gempa bumi, banjir, angin
topan, siklon dan kekeringan akan terus terjadi. Bencana badai besar terjadi empat kali lebih
besar sejak tahun 1960.
• Suhu global meningkat sekitar 5 derajat C (10 derajat F) sampai abad berikut, tetapi di
sejumlah tempat dapat lebih tinggi dari itu. Permukaan es di kutub utara makin tipis.
• Penggundulan hutan, yang melepaskan karbon dari pohon-pohon, juga menghilangkan
kemampuan untuk menyerap karbon. 20% emisi karbon disebabkan oleh tindakan manusia
dan memacu perubahan ilim.
• Sejak Perang Dunia II jumlah kendaraan motor di dunia bertambah dari 40 juta menjadi 680
juta; kendaraan motor termasuk merupakan produk manusia yang menyebabkan adanya
emisi carbon dioksida pada atmosfer.
• Selama 50 tahun kita telah menggunakan sekurang-kurangnya setengah dari sumber energi
yang tidak dapat dipulihkan dan telah merusak 50% dari hutan dunia.
Apa yang menyebabkan pemanasan global?
Pemansan global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu yang dikenal dengan gas rumah
kaca, yg terus bertambah di udara, Hal tersebut disebabkan oleh tindakan manusia, kegiatan
industri, khususnya CO2 dan chlorofluorocarbon. Yang terutama adalah karbon dioksida, yang
umumnya dihasilkan oleh penggunaan batubara, minyak bumi, gas dan penggundulan hutan serta
pembakaran hutan. Asam nitrat dihasilkan oleh kendaraan dan emisi industri, sedangkan emisi
metan disebabkan oleh aktivitas industri dan pertanian. Chlorofluorocarbon CFCs merusak lapisan
ozon seperti juga gas rumah kaca menyebabkan pemanasan global, tetapi sekarang dihapus dalam
Protokol Montreal. Karbon dioksida, chlorofluorocarbon, metan, asam nitrat adalah gas-gas polutif
yang terakumulasi di udara dan menyaring banyak panas dari matahari. Sementara lautan dan
vegetasi menangkap banyak CO2, kemampuannya untuk menjadi “atap” sekarang berlebihan akibat
emisi. Ini berarti bahwa setiap tahun, jumlah akumulatif dari gas rumah kaca yang berada di udara
bertambah dan itu berarti mempercepat pemanasan global.
Sepanjang seratus tahun ini konsumsi energi dunia bertambah secara spektakuler. Sekitar 70%
energi dipakai oleh negara-negara maju; dan 78% dari energi tersebut berasal dari bahan bakar
fosil. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan yang mengakibatkan sejumlah wilayah terkuras
habis dan yang lainnya mereguk keuntungan. Sementara itu, jumlah dana untuk pemanfaatan energi
yang tak dapat habis (matahari, angin, biogas, air, khususnya hidro mini dan makro), yang dapat
mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, baik di negara maju maupun miskin tetaplah rendah,
dalam perbandingan dengan bantuan keuangan dan investasi yang dialokasikan untuk bahan bakar
fosil dan energi nuklir.
Penggundulan hutan yang mengurangi penyerapan karbon oleh pohon, menyebabkan emisi karbon bertambah sebesar 20%, dan mengubah iklim mikro lokal dan siklus hidrologis, sehingga
mempengaruhi kesuburan tanah.
Pencegahan perubahan iklim yang merusak membutuhkan tindakan nyata untuk menstabilkan
tingkat gas rumah kaca sekarang di udara sesegera mungkin; dengan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 50%, demikian Panel Inter Pemerintah. Jika tidak melakukan apa-apa maka hal-hal
berikut akan membawa dampak yang merusak:
4
Sejumlah konsekuensi:
• Kenaikan permukaan laut yang membawa dampak luas bagi manusia; terutama bagi penduduk yang tinggal di dataran rendah, di daerah pantai yang padat penduduk di banyak negara dan di delta-delta sungai. Negara-negara miskin akan dilanda kekeringan dan banjir. Salah satu perkiraan adalah bahwa sekitar tahun 2020 sekitar _ penduduk dunia terancam bahaya kekeringan dan banjir. Negara-negara miskin akan menderita luar biasa akibat perubahan iklim – sebagian karena letak geografisnya dan juga karena kekurangan sumber alam untuk penyesuaian dengan perubahan dan melawan dampaknya. • Manusia dan spesies lainnya di planet sudah menderita akibat perubahan iklim. Proyeksi ilmiah menunjukkan adanya peluasan dan peningkatan penderitaan, misalnya, tekanan panas, bertambahnya dan berkembangnya serangga yang menyebabkan penyakit tropis baik di utara maupun selatan katulistiwa. Juga adanya rawan pangan yang makin menignkat. • Biaya tahunan untuk menangkal pemanasan global dapat mencapai 300 miliar dollar, 50 tahun ke depan jika tidak diambil tidakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Jika pemimpin politik kita dan pembuat kebijaksanaan politik tidak bertindak cepat, dunia ekonomi akan menderita kemunduran serius. Selama dekade lalu bencana alam telah mengeruk dana sebesar 608 milliar dollar.
• Wakil PBB untuk Program Lingkungan Hidup mengemukakan pada Konvensi Kerangka
Kerja PBB pada Konferensi Perubahan Iklim ke-7 di Maroko November 2001 bahwa panen
makanan pokok seperti gandum, beras dan jagung dapat merosot sampai 30% seratus tahun
mendatang akibat pemanasan global. Mereka cemas bahwa para petani akan beralih tempat
olahan ke pegunungan yang lebih sejuk, menyebabkan terdesaknya hutan dan terancamnya
kehidupan di hutan dan terancamnya mutu serta jumlah suplai air. Penemuan baru ini
menunjukkan bahwa sebagian besar dari rakyat pedesaan di negara berkembang sudah
mengalami dan menderita kelaparan dan gizi buruk tersebut.
Pengungsi akibat lingkungan hidup sudah berjumlah 25 juta di seluruh dunia
Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi:
• Apakah ada sesuatu yang baru dari semua ini bagi anda?
• Apa dampak dari fakta-fakta di atas untuk anda?
Keadaan genting dari planet kita sekarang ini disebabkan oleh konsumsi berlebihan, bukan oleh
80% penduduk miskin di 2/3 belahan bumi, tetapi oleh 20% penduduk kaya yang mengkonsumsi
86% dari seluruh sumber alam dunia
Apa yang diajarkan oleh iman kita?
Suatu Teologi yang efektif perlu dilandasi pada pengetahuan ilmiah tentang luas dan kompleksnya
perjalanan alam semesta.
St. Bonaventura mengikuti pengalaman St. Fransiskus megembangkan suatu teologi yang disebut
Sakramentalitas Ciptaan, yakni, jejak-jejak Kristus dalam dunia ciptaan. Dunia dihuni oleh yang
kudus. Semua makhluk ciptaan adalah suatu tanda dan pewahyuan Pencipta yang meninggalkan
jejak-Nya di mana-mana. Merusak dengan sengaja ciptaan berarti merusak gambar Kristus yang
hadir dalam segenap ciptaan.Kristus menderita tidak saja ketika manusia mengabaikan hak-haknya
dan dieksploitasi tetapi juga ketika laut, sungai dan hutan dirusakkan. Ketika ciptaan diakui sebagai
sakramen, yang menyatakan dan membawa kita kepada Allah, maka relasi kita dengan orang lain
juga ditantang untuk beralih dari dominasi dan kuasa ke rasa hormat dan takzim.
5
Mengapa kaum religius harus memperhatikan dan terlibat dalam masalah-masalah ekologi? Bumi
memiliki kekuatan besar untuk menanggung derita, tetapi hal itu tidak dapat terus menerus kalau
kita tidak menghendaki bahwa kemanusiaan di masa depan berada dalam bahaya. Kita sekarang
berada dalam posisi untuk melakukan sesuatu.
Dokumen Kepausan yang secara khusus berbicara tentang lingkungan dan masalah-masalah
pembangunan berjudul, “Berdamai dengan Allah Pencipta, berdamai dengan segenap ciptaan” (1
Januari 1990) menegaskan bahwa setiap orang Kristen mesti menyadari bahwa tugas mereka
terhadap alam dan ciptaan merupakan bagian esensial dari iman mereka (no.15).
Allah sang pemilik dunia tidak saja mendesak kita untuk memperhatikan keadilan sosial, yakni
relasi yang baik antara masyarakat, tetapi juga keadilan ekologis, yang berarti relasi yang baik
antara manusia dengan ciptaan lainnya dan dengan bumi sendiri. Sekarang ciptaan diakui sebagai
satu komunitas makhluk ciptaan dalam kaitan relasi dengan yang lain dan dengan Allah
Tritunggal. Keutuhan ciptaan adalah bagian esensial dari semua tradisi iman dan merupakan hal
penting karena dengannya dialog, kerja sama dan saling pengertian dapat dibangun.
Gereja dan kelompok antar-agama tentang perubahan iklim telah lama terlibat. Dalam atmosfer
ekumenis, kita harus merangkul sesama Kristen seperti juga non-Kristen untuk bekerja demi hal
tersebut.
Inilah tantangan untuk kita di dunia masa kini:
• Kita mesti dapat membaca tanda-tanda zaman
• Kita belajar untuk mengambil disposisi bagi discerment.
• Kita memiliki sumber-sumber dan membangun jaringan kerja dan jaringan komunikasi
untuk menyampaikan pesan-pesan dan peringatan akan pemanasan global.
• Kita, melalui spiritualitas dan kharisma kita, memiliki komitmen pada rekonsiliasi dan
pemulihan keselarasan.
• Kita dipanggil untuk menjalankan peran profetis.
• Kita berasal dari masyarakat yang mengenal etika kesejahteraan umum dan etika solidaritas
dengan mereka yang menderita dan yang membutuhkankah perhatian.
Tugas kita sebagai religius adalah mengkontemplasikan keindahan dan kehadiran Allah dalam
segala sesuatu. Kontemplasi tersebut dapat membimbing kita kepada metanoia, pertobatan hati,
yang merupakan tempat yang bagus bagi kita semua untuk mulai menanggapi krisis planet kita,
krisis rumah kita, ciptaan Allah, ketika memasuki milenium baru ini.
Bagaimana tanggapan kita bergantung pada di mana kita hidup. Bagi mereka yang hidup dalam
masyarakat dan negeri-negeri yang ditandai konsumerisme dan materialisme, cara untuk hidup
dalam harmoni dengan ciptaan akan berbeda dengan mereka yang hidup dalam masyarakat dan
negeri di mana kebutuhan untuk hidup secara manusiawi sulit ditemukan.
Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi:
• Mengapa religius mesti terlibat dalam problem ekologi?
• Apakah ada alasan lain mengapa religius mesti terlibat?
• Sikap apa yang anda jumpai dalam diri sesama saudara dan saudari berkaitan dengan
masalah lingkungan hidup?
Menuju Etika Lingkungan Kristiani
Elemen penting dari etika solidaritas mencakup:
• Pengakuan akan keluhuran ciptaan.
• Memasukan lingkungan hidup sebagai satu aspek dari kesejahteraan umum
6
• Membangun struktur lembaga bagi kesejahteraan umum
• Memperhatikan hubungan antara lingkungan dan pembangunan
Etika lingkungan yang mumpuni mesti mengintegrasikan ke dalamnya strategi pengembangan
ekonomi yang seimbang dengan lingkungan.
Hal pokok bagi etika adalah pengakuan akan yang lain dan tanggungjawab saya terhadap yang lain
Mengakui yang lain sebagai independen dan bernilai mendorong saya untuk menyesuaikan sikap
saya agar menaruh hormat pada sesama. Mereduksi makhluk non-manusia lainnya hanya sebagai
instrumen telah menyebabkan degradasi massal pada lingkungan hidup. Visi Kitab Suci, St.
Fransiskus, Hildegard dari Bingen dan banyak mistikus lainnya mengemukakan bahwa setiap
ciptaan memiliki dimensi moralnya sendiri, dikasihili oleh Allah.
Kita menyadari bahwa ada kesejahteraan umum internasional yang melampaui batas-batas lokal
dan nasional
Perhatian terhadap laut, hutan, udara, binatang, ikan dan spesies tumbuhan sekarang ini tidak cuma
menjadi keprihatinan suat negara dan pemerintahannya. Masalah lingkungan mewajibkan kita
untuk merumuskan kembali kesejahteraan umum dalam lingkup gelobal.
Bila kita mengkonsumsi sumber alam kita lebih cepat dari proses penggantiannya atau
menghaburkan sumber-sumber alam yang tidak ada gantinya tanpa mempedulikan kebutuhan
generasi mendatang maka kita merampok modal mereka. Leonardo Boff berbicara tentang
kemanusiaan sebagai kesadaran akan bumi. Model refleksi seperti ini membantu kita untuk
mengevaluasi kembali keterkaitan seluruh ciptaan. Sementara manusia mempunyai tempat khas
dan peranan dalam keseluruhan rencana Allah bagi alam semesta, maka manusia tidak dapat
bertahan hidup tanpa relasi yang sehat dengan lingkungan sekitarnya. Manusia butuh ciptaan
lainnya agar hidup sementara ciptaan lainnya sebenarnya tidak membutuhkan manusia.
Sekarang ini perlu mengembangkan struktur yang dapat melindungi lingkungan global. Maksudnya
mengembangkan dan mendukung lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan persetujuan
internasional seperti Protokol Kyoto.
Masalah Lingkungan melampuai kompetensi negara masing-masing bangsa
Apa yang dapat kita kerjakan SEKARANG?
Keutuhan lingkungan yang nyata hanya akan dicapai dengan upaya terpadu dari semua pihak
Krisis lingkungan pada dasarnya adalah krisis nilai. Kita membutuhkan suatu model sikap untuk
melihat dunia secara berbeda.Lepas dari perubahan-perubahan yang ada kita dapat mulai dari gaya
hidup kita sebagai landasan, hal ini penting karena kita bekerja demi mengubah kebijaksanaan pada
level internasional dan nasional. Hal tersebut mencakup pangggilan kepada pertobatan ekologis
(bdk. Yohanes Paulus II, 17 Januari 2001), memperdalam pemahaman kita akan perubahan iklim
dan masalah-masalah ekologis. Pendidikan diperlukan agar masyarakat waspada tidak saja
terhadap lingkungan yang mengancam planet tetapi juga waspada terhadap mysteri yang mendasari
eksistensi planet.
Apa yang dapat dikerjakan kaum religius? Di sini diajukan sejumlah ide:
7
• Kaum religius dapat merancang cara melindungi sumber-sumber alam. Komitmen kita
terhadap gaya hidup kelompok merupakan peluang untuk memimpin upaya konservasi dan
daur ulang.
• Sejumlah orang dari kita yang memiliki pengetahuan lebih tentang komplexitas situasi
tersebut mungkin bahkan sudah mengubah gaya hidup dan terlibat dalam aksi politik demi
perubahan.
• Bagi yang lain, informasi dalam buku kecil ini mungkin suatu langkah awal untuk
memahami urgensi dari persoalan lingkungan
• Kaum religius senantiasa punya kontak dengan LSM yang berkiprah dalam bidang
lingkungan dan hal itu memungkinkan adanya kerja sama dalam sejumlah proyek atau
kampanye yang mereka jalankan. Periksalah jaringan aksi iklim global di website bagi
LSM di tempat anda yang menfokuskan diri pada perubahan iklim.
• Undanglah ahli lingkungan untuk berbicara di komunitas anda.
• Bekerja dengan kelompok tak punya tanah, pengembara, pengungsi, penduduk asli dan
dukunglah upaya mereka demi adanya tanah, air, hutan, dll
• Apa lagi...?
Apakah anda tahu bahwa untuk pertama kali dalam sejarah kita memiliki persetujuan yang
mengikat secara hukum (Protokol Kyoto) berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup, untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca. Tetapi agar menjadi operasional, hal tersebut mesti diratifikasi
oleh 55 negara (sampai saat ini ada 46 negara). Juga, ratifikasi itu mesti mencakup negara
penghasil 55% emisi gas rumah kaca dunia, yang berarti bahwa negara-negara inustri besar harus
meratifikasinya. Saat ini hanya sedikit negara industri besar yang meratifikasinya.
Secara pribadi dan komunitas kita dapat mempraktekkan tiga hal berikut:
Daur Ulang/menggunakan kembali:
• Memperhatikan kebiasaan konsumen, dan membeli atau menggunakan barang-barang yang
tidak dipaket. Mencari merk yang memperhatikan lingkungan dan sabun-sabun dan agenagen
pembersih.
• Mendaur ulang segala yang dapat didaur ulang: plastik, kupasan buah segar dan sayur
mayur, kertas dan kardus, gelas dan kaleng.
• Mulailah dengan membuat kompos. Tambahkan cacing dan juga daun-daun, ranting-ranting
dan kotoran dari kebun dan kompos itu akan menjadi pupuk alam untuk tanah.
• Mendorong industri kerajinan untuk menjalankan tanggungjawab bagi daur ulang bahanbahan
sisa dan alat-alat elektro seperti tv dan komputer.
• Apa lagi ...?
Mengurangi
• Hemat dalam menggunakan air
• Mengurangi pembakaran barang-barang yang tidak dapat didaur ulang
• Mengurangi emisi CFC dan emisi pengganti CFC dengan tidak menggunakan aerosol dan
menggunakan energi efisien.
• Mengurangi penggunakan listrik dengan menggunakan lampu hemat energi.
• Apa lagi...?
Mengingatkan
• Pemerintah setempat akan komitmen mereka untuk mendaur ulang dan mengurangi
pemborosan serta mempertahankan hukum daur ulang dan pemborosan agar tetap relevan.
• Mendorong pengusaha setempat agar mengurangi produk-produk paket.
• Mengingatkan otoritas setempat untuk memelihara listrik dan menggunakannya dalam
system yang efisien.










Solusi Pemanasan Global (Global Warming)

Greenpeace Indonesia mendesak pemerintah melindungi hutan di Papua. Perlindungan hutan diperlukan untuk menghambat pelepasan polusi hasil industri yang menyebabkan pemanasan global. Juru kampanye hutan Greenpeace, Bustar Maitar, mengatakan hutan Indonesia berperan penting menghambat pelepasan gas-gas yang menyebabkan polusi. Apalagi Indonesia negara ketiga terbesar yang menyumbang pencemaran udara melalui sisa buangan gas industri. Sebagian besar gas itu dihasilkan dari pembukaan lahan dan pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan.
Greenpeace Indonesia mendukung masyarakat dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dalam melindungi hutan dan memanfaatkan hutan untuk kesejahteraan masyarakat lokal.
Menurut Bustar, pemanfaatan hutan untuk kepentingan industri kayu dan perkebunan sama sekali tidak menguntungkan asyarakat di sekitar hutan. "Kami yakin Papua memiliki peluang untuk membuka jalur baru yang memungkinkan masyarakat mengelola hutannya untuk tujuan jangka panjang," kata Bustar, Selasa (21/8).
Septer Manufandu, Sekretaris Eksekutif Forum Kerja Sama LSM Papua mengatakan, pemanasan global menyebabkan iklim di bumi tidak stabil. Perubahan iklim mengakibatkan meningkatnya permukaan air laut, banjir, kekeringan, serta menyusutnya luas area salju di pegunungan. (E1)hal-hal tersebut adalah solusi untuk pencegahan pemanasan global atau global warming.

Protokol Kyoto : Solusi terhadap Pemanasan Global



Sebagian sinar matahari yang masuk ke bumi dipantulkan ke angkasa, dan secara alami akan diserap oleh gas-gas atmosfer yang menyelimuti bumi. Sinar itu pun kemudian terperangkap di bumi. Situasi ini juga terjadi di dalam rumah kaca yaitu pada saat panas yang masuk terperangkap di dalamnya dan menghangatkan seisi rumah kaca tersebut. Fenomena yang terjadi di bumi lalu dinamakan efek rumah kaca, sedangkan gas-gas penyerap sinar disebut gas rumah kaca. Apabila efek rumah kaca tidak terjadi di bumi boleh jadi bumi akan menjadi tempat yang tidak nyaman untuk dihuni, karena akan bersuhu 33oC lebih dingin!

Gas rumah kaca ( seperti : CO2, CH4, N2O, HFCS, PFCS, dan SF6) dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil, mulai dari memasak sampai Pembangkit Listrik. Karena kegiatan tersebut sangat umum dilakukan manusia, maka seiring dengan meningkatnya populasi manusia, konsentrasi Gas rumah kaca (GRK) pun meningkat. Akibatnya, semakin banyak sinar yang terperangkap di dalam bumi. Perubahan iklim berubah secara perlahan tapi pasti. Suhu permukaan bumi pun memanas. Panas ini kita kenal sebagai pemanasan global (Global warming).

Apa yang akan terjadi jika efek rumah kaca tidak diantisipasi? Peneliti lingkungan hidup di Indonesia memperkirakan naiknya permukaan air laut setinggi 60 cm di tahun 2070. Penduduk pesisir akan kehilangan tempat tinggalnya, dan kita bisa say goodbye ke industri pariwisata bahari. Selain itu perubahan iklim akan mengakibatkan suhu dan pola hujan yang tidak tentu, sehingga para petani akan kesulitan menentukan masa kerjanya. Untuk lingkup yang lebih besar, keanekaragaman hayati dunia terancam punah, karena habitat individu akan terdegradasi dan hanya individu yang kuat saja yang bisa melewati seleksi alam. Secara hitungan ekonomis, global warming merugikan dunia sebanyak 5 triliun dollar AS.

Protokol Kyoto

Syukurlah para ahli lingkungan hidup telah sejak lama memperkirakan "tragedi" global warming ini. Di Stockholm pada Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (Human Environmental) tahun 1972, masyarakat internasional bertemu pertama kalinya untuk membahas situasi lingkungan hidup secara global. Pada peringatan kedua puluh tahun pertemuan Stockholm tersebut, digelarlah konferensi bumi di Rio de Jainero tahun 1992. Di konferensi ini ditandatanganilah Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). UNFCC memiliki tujuan utama berupa menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga berada di tingkat aman.

UNFCCC mengatur lebih lanjut ketentuan yang mengikat mengenai perubahan iklim ini. Desember 1997 di Kyoto, Protokol Kyoto ditandatangani oleh 84 negara dan tetap terbuka untuk ditandatangani/diaksesi sampai Maret 1999 oleh negara-negara lain di Markas Besar PBB, New York. Protokol ini berkomitmen bagi 38 negara industri untuk memotong emisi GRK mereka antara tahun 2008 sampai 2012 menjadi 5,2% di bawah tingkat GRK mereka di tahun 1990.

Ada tiga mekanisme yang diatur di Protokol Kyoto ini yaitu berupa joint implementation; Clean Development Mechanism; dan Emission Trading. Joint Implementation (implementasi bersama) adalah kerja sama antar negara maju untuk mengurangi emisi GRK mereka. Clean Development Mechanisme (Mekanisme Penmbangunan Bersih) adalah win-win solution antara negara maju dan negara berkembang, di mana negara maju berinvestasi di negara berkembang dalam proyek yang dapat megurangi emisi GRK dengan imbalan sertifikat pengurangan emisi (CER) bagi negara maju tersebut. Emission Trading (Perdagangan emisi) adalah perdangan emisi antar negara maju.

Desember 2004, Indonesia pada akhirnya meratifikasi Protokol Kyoto melalui UU no 17 tahun 2004. Indonesia akan menerima banyak keuntungan dari Protokol Kyoto. Melalui dana yang disalurkan Indonesia akan bisa meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim ini. Lewat CDM, Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi sampai sebesar 300 juta ton dan diperkirakan bernilai US$ 1,26 miliar. Kegiatan CDM lainnya yang tengah dipersiapkan di Indonesia adalah mengganti pembangkit listrik batubara dengan geoterma, dan efisiensi energi untuk produksi pabrik Indocement.

Tahun 2001, Amerika Serikat berkeputusan untuk menarik dukungannya terhadap Protokol Kyoto. Keputusan ini dikecam oleh rakyat Amerika sendiri dan juga oleh pemimpin negara lain di dunia. Tidak kurang mantan Presiden Jimmy Carter, Michael Gorbachev, bahkan oleh ilmuwan Stephen Hawking dan aktor Harrison Ford yang membuat surat terbuka di majalah Time edisi April 2001. Alasan yang dipakai pemerintahan Bush adalah pengurangan emisi akan mengguncang perekonomian mereka.

Rusia juga sempat menarik dukungan mereka terhadap Protokol Kyoto. Hal ini sempat membuat dunia khawatir Protokol Kyoto tidak akan berkekuatan hukum secara internasional karena tidak memenuhi persyaratannya. Persyaratan Protokol Kyoto yang harus dipenuhi adalah keharusan bahwa Protokol itu diratifikasi oleh minimal 55 negara dan total emisi negara maju yang meratifikasi minimal 55% total emisi negara tersebut di tahun 1990. Tapi akhirnya pada November 2004 Rusia meratifikasi Protokol Kyoto.

Pada 16 Februari 2005 lalu, setelah melewati perjalanan yang cukup panjang Protokol Kyoto berkekuatan hukum secara internasional - dan mesti dicatat tanpa diratifikasi Amerika Serikat yang notabene merupakan kontributor emisi terbesar dunia. Masyarakat seluruh dunia menyambut gembira dan sebagian besar negara di dunia ber"pesta" menyambutnya. Namun perlu diingat, Protokol Kyoto pun baru dapat dipraktekkan di tahun-tahun mendatang sedangkan the damage had been done dan telah dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama. Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan suhu bumi seperti sedia kala. Meskipun begitu Protokol Kyoto telah menjadi semacam pengingat bagi seluruh umat manusia untuk tidak bertindak sebodoh sebelumnya untuk makin merusakkan bumi.


Pemanasan Global | Akibat Pemanasan Global | Global Warming

Akibat pemanasan global (global warming), permukaan laut Indonesia naik 0,8 cm per tahun dan berdampak pada tenggelamnya pulau-pulau nusantara hampir satu meter dalam 15 tahun ke depan. Demikian Deputi Menteri Lingkungan Hidup bidang Konservasi SDA dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Masnerliyati Hilman di Jakarta, Kamis (2/11).

"Indonesia sebagai negara kepulauan menjadi pihak yang sangat merasakan dampak pemanasan global ini perlahan tetapi pasti jika tak diatasi sejak sekarang," ujar Hilman.

Dampak lain dari pemanasan global adalah terjadinya pergeseran iklim dari yang seharusnya Juni 2006 sudah musim kemarau, Kalimantan dan Sumatra malah masih mengalami banjir besar dan bulan September yang seharusnya sudah dimulai musim hujan bergeser mulai November.

Data dampak pemanasan global lainnya misalnya mencairnya glasier di pegunungan Himalaya, meningkatnya frekuensi badai di Kepulauan Pasifik Selatan, pemutihan karang secara massal dan berdampak pada kematian di Great Barrier Reef Australia, berkurangnya persediaan air bersih di sungai Mekong dan lain-lain.

Menurutnya, indikasi pemanasan global lain yang begitu jelas dirasakan misalnya kenaikan suhu yang ekstrem beberapa waktu belakangan ini misalnya suhu di Kalimantan yang biasanya sekitar 35 derajat Celcius naik menjadi 39 derajat Celcius.

Di Sumatra, tambahnya, yang biasanya berkisar pada 33-34 derajat naik menjadi 37 derajat, dan di Jakarta yang biasanya 32-34 naik menjadi 36 derajat Celcius.

Hilman menjelaskan, pemanasan global itu akibat meningkatnya kegiatan manusia yang terkait dengan penggunaan bahan bakar fosil, kegiatan melepas emisi (efek rumah kaca) dan menyebabkan tertahannya radiasi matahari dalam atmosfer bumi ditambah lagi dengan penebangan hutan.

Pemanasan Global | Dampak Global Warming

Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.

Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.

Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.

Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.

Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.

Global Warming Causes and Effect

Causes

Components of the current radiative forcing as estimated by the IPCC Fourth Assessment Report.global warming

Components of the current radiative forcing as estimated by the IPCC Fourth Assessment Report.
Main articles: Attribution of recent climate change and Scientific opinion on climate change

The Earth's climate changes in response to external forcing, including variations in its orbit around the Sun (orbital forcing),[13][14][15] volcanic eruptions,[16] and atmospheric greenhouse gas concentrations. The detailed causes of the recent warming remain an active field of research, but the scientific consensus[17][18] is that the increase in atmospheric greenhouse gases due to human activity caused most of the global warming observed since the start of the industrial era. This attribution is clearest for the most recent 50 years, for which the most detailed data are available. Some other hypotheses departing from the consensus view have been suggested to explain the temperature increase. One such hypothesis proposes that global warming may be the result of variations in solar activity.[19][20][21]

None of the cause and effects of forcing are instantaneous. The thermal inertia of the Earth's oceans and slow responses of other indirect effects mean that the Earth's current climate is not in equilibrium with the forcing imposed. Climate commitment studies indicate that even if greenhouse gases were stabilized at 2000 levels, a further warming of about 0.5 °C (0.9 °F) would still occur.

Pemanasan Global | Global Warming



Pemansan Global is also called Global warming is the increase in the average temperature of the Earth's near-surface air and oceans in recent decades and its projected continuation.

The global average air temperature near the Earth's surface rose 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) during the hundred years ending in 2005.[1] The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) concludes "most of the observed increase in globally averaged temperatures since the mid-twentieth century is very likely due to the observed increase in anthropogenic greenhouse gas concentrations"[1] via the greenhouse effect. Natural phenomena such as solar variation combined with volcanoes probably had a small warming effect from pre-industrial times to 1950 and a small cooling effect from 1950 onward.[2][3] These basic conclusions have been endorsed by at least thirty scientific societies and academies of science,[4] including all of the national academies of science of the major industrialized countries.[5][6][7] While individual scientists have voiced disagreement with some findings of the IPCC,[8] the overwhelming majority of scientists working on climate change agree with the IPCC's main conclusions.[9][10]

Climate model projections summarized by the IPCC indicate that average global surface temperature will likely rise a further 1.1 to 6.4 °C (2.0 to 11.5 °F) during the twenty-first century.[1] The range of values results from the use of differing scenarios of future greenhouse gas emissions as well as models with differing climate sensitivity. Although most studies focus on the period up to 2100, warming and sea level rise are expected to continue for more than a thousand years even if greenhouse gas levels are stabilized. The delay in reaching equilibrium is a result of the large heat capacity of the oceans.[1]

Increasing global temperature will cause sea level to rise, and is expected to increase the intensity of extreme weather events and to change the amount and pattern of precipitation. Other effects of global warming include changes in agricultural yields, trade routes, glacier retreat, species extinctions and increases in the ranges of disease vectors.

Remaining scientific uncertainties include the amount of warming expected in the future, and how warming and related changes will vary from region to region around the globe. Most national governments have signed and ratified the Kyoto Protocol aimed at reducing greenhouse gas emissions, but there is ongoing political and public debate worldwide regarding what, if any, action should be taken to reduce or reverse future warming or to adapt to its expected consequences.

Pengendalian pemanasan global

Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.

Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.

Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.

Pemanasan global | Dampak Pemanasan Global

Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.

Cuaca

Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.

Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini)[22]. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.

Tinggi muka laut

Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.

http://id.wikipedia.org/skins-1.5/common/images/magnify-clip.png

Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.

Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.

Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.

Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.

Pertanian

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

Hewan dan tumbuhan

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

Kesehatan manusia

Di dunia yang hangat, para ilmuan memprediksi bahwa lebih banyak orang yang terkena penyakit atau meninggal karena stress panas. Wabah penyakit yang biasa ditemukan di daerah tropis, seperti penyakit yang diakibatkan nyamuk dan hewan pembawa penyakit lainnya, akan semakin meluas karena mereka dapat berpindah ke daerah yang sebelumnya terlalu dingin bagi mereka. Saat ini, 45 persen penduduk dunia tinggal di daerah di mana mereka dapat tergigit oleh nyamuk pembawa parasit malaria; persentase itu akan meningkat menjadi 60 persen jika temperature meningkat. Penyakit-penyakit tropis lainnya juga dapat menyebar seperti malaria, seperti demam dengue, demam kuning, dan encephalitis. Para ilmuan juga memprediksi meningkatnya insiden alergi dan penyakit pernafasan karena udara yang lebih hangat akan memperbanyak polutan, spora mold dan serbuk sari.

Perdebatan tentang pemanasan global

Tidak semua ilmuan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.

Para ilmuan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.

Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.

Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisa baru tentang temperatur air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: temperatur laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada temperatur rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.[22]

Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.

Pemanasan Global | Penyebab pemanasan global


Efek rumah kaca

Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbondioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.

Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.

Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dengan efek rumah kaca[3] (tanpanya suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi). Akan tetapi sebaliknya, akibat jumlah gas-gas tersebut telah berlebih di atmosfer, pemanasan global menjadi akibatnya.

Efek umpan balik

Efek-efek dari agen penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara hingga tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[4] Umpan balik ini hanya dapat dibalikkan secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.

Efek-efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan radiasi infra merah balik ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[4]

Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[5] Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersama dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.

Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.

Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.

Pemanasan Global dan Efek Rumah Kaca (Greenhouse Effect)


Efek rumah kaca, pertama kali ditemukan oleh Joseph Fourier pada 1824, merupakan sebuah proses di mana atmosfer memanaskan sebuah planet kemudian berhubungan dengan pemanasan global.

Mars, Venus, dan benda langit beratmosfer lainnya (seperti satelit alami Saturnus, Titan) memiliki efek rumah kaca, tapi artikel ini hanya membahas pengaruh di Bumi.

Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah kaca ditingkatkan yang terjadi akibat aktivitas manusia (lihat juga pemanasan global). Yang belakang diterima oleh semua; yang pertama diterima kebanyakan oleh ilmuwan, meskipun ada beberapa perbedaan pendapat.

Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya.

Energi yang masuk ke bumi mengalami : 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer 25% diserap awan 45% diadsorpsi permukaan bumi 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi

Energi yang diadsoprsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar infra merah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda.

Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana (CH4) dan khloro fluoro karbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca.

Dampak Rumah kaca tersebut sekarang menjadi rumah kaca raksasa. Permukaan bumi menjadi lantainya dan atmosfir udara menjadi langit-langitnya. Kita semua sudah terperangkap di dalamnya. Dan rumah kita itu sudah semakin panas. Efek kenaikan suhunya tidak sesederhana seperti ilustrasi udara panas dan butir keringat pada tulisan sebelumnya. Dampak yang lebih besar adalah perubahan iklim dan ekosistem dunia yang akan mengganggu kehidupan makhluk hidup, termasuk manusia. Pertanyaannya adalah apakah kita dapat hidup nyaman di dalamnya? Bahkan lebih ekstrim lagi, sampai kapan kita dapat bertahan hidup di dalamnya?

”Global warming means dark future”, demikianlah pendapat para peneliti yang dikutip dari majalah online People Weekly World (2007). Sebuah pernyataan yang patut menjadi kepedulian bersama. Seberapa seram kondisi rumah kita di masa depan tersebut dilengkapi dengan bukti-bukti empiris. Salah satunya adalah melelehnya lapisan es di Greenland dan benua antartika yang dapat menimbulkan banjir dan merusak garis pantai dan ekosistem, terutama pada delta-delta dan dataran rendah di Asia dan Afrika.

Itu berarti delta atau pulau-pulang kecil di Indonesia terancam tenggelam. Jumlah pulau-pulau sebanyak 17.504 pun harus siap-siap dihitung ulang, padahal baru 7.870 di antaranya yang sudah mempunyai nama. Panjang garis pantai Indonesia- yang mencapai 81.000 kilometer pun terancam berkurang, atau dengan kata lain, pulau-pulau seperti Jawa atau Sumatera akan berkurang luasnya karena garis pantai semakin naik menuju daratan. Kota-kota di pinggiran pantai pun terancam, terutama yang ketinggian di atas permukaan laut-nya rendah. Puluhan juta orang yang hidup dan berkehidupan di kota tersebut pun ikut terancam.

Rasanya kita sepakat bahwa masa depan yang menyeramkan tersebut mudah-mudahan tidak terjadi. Kesepakatan tersebut perlu ditindaklanjuti dengan upaya-upaya bersama dalam mengurang- kalau tidak bisa menghilangkan, faktor-faktor penyebab pemanasan global. Emisi gas buang dari kendaraan, polusi udara dari pabrik-pabrik, dan pembalakan hutan adalah beberapa contoh faktor penyebab terakumulasinya CO2- jenis gas yang merupakan penyebab utama pemanasan global. Kita patut sangat prihatin jika melihat kondisi kendaraan, limbah udara pabrik, dan kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia

Kekhawatiran tersebut perlu menjadi renungan bersama tanpa harus disertai saling menyalahkan. Sudah saatnya, masalah lingkungan menjadi prioritas utama dalam program pemerintah, atau minimal aspek lingkungan diintegrasikan ke dalam program pembangunan nasional di bidang lain. Rasanya masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Persyaratan dan pengujian emisi kendaraan harus dilakukan secara berkelanjutan, penegakkan hukum terhadap pengusaha yang menimbulkan pencemaran udara, serta penanganan kebakaran hutan dari aspek lingkungan, hukum, ekonomi, dan sosial-kemasyarakatan. Dari sisi masyarakat pun harus tumbuh budaya mencintai dan memelihara lingkungan hidup di lingkungannya masing-masing. Itu bisa dimulai dari sekarang- misalnya gerakan menanam pohon atau penanganan sampah keluarga. Memang sebuah usulan yang klise. Tetapi jangan sampai kita menjadi apriori atau bosan dengan segala persoalan yang masih terjadi di Indonesia. Marilah kita terus mengkampanyekan isu tentang kualitas lingkungan. Karena bumi ini adalah rumah milik kita bersama.

Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.

Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu dikarenakan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim,[2]pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan. serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat

Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekwensi-konsekwensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.

Efek Rumah Kaca atau Greenhouse Effect merupakan istilah yang pada awalnya berasal dari pengalaman para petani di daerah beriklim sedang yang menanam sayur-mayur dan biji-bijian di dalam rumah kaca. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa pada siang hari waktu cuaca cerah, meskipun tanpa alat pemanas suhu di dalam ruangan rumah kaca lebih tinggi dari pada suhu di luarnya.

Hal tersebut terjadi karena sinar matahari yang menembus kaca dipantulkan kembali oleh benda-benda di dalam ruangan rumah kaca sebagai gelombang panas yang berupa sinar inframerah. Oleh karena itu, udara di dalam rumah kaca suhunya naik dan panas yang dihasilkan terperangkap di dalam ruangan rumah kaca dan tidak tercampur dengan udara di luar rumah kaca. Akibatnya, suhu di dalam ruangan rumah kaca lebih tinggi dari pada suhu di luarnya dan hal tersebutlah yang dikatakan sebagai efek rumah kaca. Efek rumah kaca dapat pula terjadi di dalam mobil yang diparkir di tempat yang panas dengan jendela tertutup.

Dari pancaran sinar matahari yang sampai ke bumi (setelah melalui penyerapan berbagai sinar di atmosfer) sebagian radiasi tersebut dipantulkan dan sebagian diserap oleh bumi. Radiasi yang diserap dipancarkan lagi oleh bumi sebagai sinar inframerah yang bergelombang panjang. Sinar tersebut di atmosfer akan diserap oleh gas-gas rumah kaca seperti uap air (H2O) dan karbon dioksida (CO2) sehingga tidak terlepas ke luar angkasa dan menyebabkan panas terperangkap di troposfer dan akhirnya menyebabkan peningkatan suhu di bumi maupun di lapisan troposfer (lapisan atmosfer terendah). Hal tersebut menyebabkan terjadinya efek rumah kaca di bumi.

Dengan adanya efek rumah kaca, suhu rata-rata di permukaan bumi naik 33°C lebih tinggi (menjadi 15°C) dari seandainya tidak ada efek rumah kaca (- 18°C), suhu yang terlalu dingin bagi kehidupan manusia. Kenaikan intensitas efek rumah kaca akibat peningkatan kadar gas rumah kaca yang utamanya disebabkan oleh pencemaran, dapat menyebabkan terjadinya pemanasan global atau global warming, yaitu peningkatan suhu bumi yang menyebabkan perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut.